PHILO DAN TULISAN PARA RABBI :
PERANANNYA DALAM STUDI PERJANJIAN BARU*)
Oleh: Bambang Noorsena, SH. MA
*) Makalah disajikan dalam ‘’Kuliah Tamu’’ yang diselenggarakan oeh Sekolah Teologi Awam Reformed (STAR), di Jl. Nginden Timur II, No. 5-9, Surabaya, tanggal 9 juli 2009.
LATAR BELAKANG
Philo dari Alexandria (20 SM-50 M) adalah seorang Yahudi Diaspora yang pemikiran
teologisnya sangat dipengaruhi oleh filsafat Plato dan para penerusnya. Pemikiran Philo
merupakan sintesa yang unik antara Platonisme, filsafat Stoa dan Monoteisme Yahudi. Philo
adalah anggota dari masyarakat Yahudi Hellenik yang cukup tersohor, dan merupakan salah
satu corong yang menyuarakan pemikiran Yahudi Helenik pada abad pertama.
Salah satu pemikiran Philo yang paling menonjol dan dapat dikaji dalam kaitannya dengan
studi Perjaanjian Baru adalah mengenai Logos (Pikiran, Sabda Allah). Kata Logos sangat
penting bagi Philo, karena ia menggunakan kata ini lebih dari 1400 kali dalam berbagai
tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisan para Rabbi pra-Krieten juga tidak luput dari pemikiran
Hellenik yang mengelilingi, minimal ada tarik menarik antara 2 aliran pemikiran yang cukup
menonjol sebelum dan pada awal-awal tarikh Masehi. Perlu dicatat pula, jauh sebelum
zaman Philo, Perjanjian Lama sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani oleh komunitas
Yahudi di Alexandria, kira-kira abad III SM. Dan perlu dicatat pula, bahwa kata Davar
(Firman) TUHAN) juga diterjemaahkan menjadi Logos dalam naskah yang lazim dikenal
sebagai Septuaginta ini.
Selanjutnya, tulisan-tulisan para rabbi Yahudi juga mengembangkan pemikiran mengenai
Firman TUHAN ini. Sebuah terjemahan paraphrase Perjanjian Lama yang dikenal dengan
Targum dalam berbagai versinya juga mengembangkan pemikiraan mengenai Memra
(Firman), yang jelas-jelas lebih memberi corak kepada teologi Rasul Yohanes mengenai
Logos dalam prolog Injilnya, ketimbang dengan Logos Philo, menurut dugaan para teolog
abad lalu. Untuk lebih jelasnya, artikel singkat ini akan membahas pemikiran Philo dan
tulisan para rabbi dalam kaitannya dengan sstudi Perjanjian Baru, yang pembahasannya akan
dibatasi pada konsep mengenai Logos (Firman). Maksudnya, Logos dalam Injil Yohanes
lebih dekat pada pemikiran Philo yang lebih dominan bercorak Hellenistik, ataukah Logos
menurut LXX dan Memra dalam Targum? Kajian lebih mendalam mengenai masalah ini
dirasakan cukup penting, mengngat banyak teolog abad lalu yang berpandangan bahwa
Logos dalam prolog Injil Yohanes lebih bercorak Heelleninistik ketimbang Yudaistik.
LOGOS DALAM PEMIKIRAN PHILO
Berangkat dari dualisme dalam filsafat Platonisme, Philo membedakan antara dunia
fenomenal dan dunia ideal. Dunia Fenomenal “di sini dan kini” adalah merupakan tiruan saja
dari dunia ideal “ di sana dan akan datang”. Dalam kerangka pemikiran yang demikian,
Logos dipandang sebagai instrumen untuk menciptakan dunia dan “mediator” antara Allah
yang transenden dengan dunia materi. Beberapa teolog yang menyimpulkan bahwa Logos
dalam Injil Yohanes mengambilalih konsep Philo, agaknya disimpulkan dari beberapa tulisan Philo yang membicarakan Logos. Memang banyak kemiripan, tetapi perbedaannya juga
sangat besar: Logos adalah Anak Sulung Allah, yang sulung dari antara para Malaikat, sejenis
malaikat pemimpin, karena aitu Logos dipanggil sebagai “Sang Pemegang Otoritas”,
dan nama dari Allah... (De Confusione Linguarum, 146). Firman yang sama, yang melaluinya Ia menciptakan alam semesta, itulah yang digunakannya untuk menarik manusia yang sempurna dari benda-benda duniawi kepada Diri-Nya sendiri (De Saccrificis Abelis et Caini, 8). Karena diperlukan maka Logos ditunjuk sebagai Hakim dan peranatara, yang juga disebut “Malaikat” (Questionare et Salutiones in Exodus II,13).
Pemikiran Logos dalam filsafat Yunani ini, sudah berkembang jauh sebelum Philo, bahkan
Plato dan Zeno sendiri, meskipun maknanya tidak selalu sama. Dari Heraklitos, Parmenides,
Xenopanes, Zeno , Plato dan Neo-Platonisme yang lebih kemudian, sudah digumuli konsep
logos yang meskipun dalam detilnya berbeda-beda, namun semuanya bercorak panteistik.
Menurut Heraklitos, Logos adalah “ratio” yang merupakan hukum universal yang menguasai
segala-galanya. Logos itu bersifat ilahi, tetapi bukan Allah yang personal dalam pemaahaman Yaahudi-Kristen (Bertens, 1999:56). Disini Logos disamakan dengan jiwa manusia sendiri. “Dalam perjalananmu engkau akan menemui batas-batas jiwa, jalan manapun yang engkau tempuh, begitu mendalam logosnya” (Fragmen 45).
Dalam pemikiran Philo, hanya melalui Logoslah Allah dapat memasuki “dunia fenomenal”
yang berada dalam jangkauan persepsi manusia. Gagasan ini jelas-jelas dilatarbelakangi oleh
pemikiran Plato, bahwa Allah (theos) berada dalam “dunia ide” yang tunggal dan tetap, tidak
mungkin menyentuh “dunia manusia” yang majemuk daan berubah-ubah. Itulah sebabnya
diperlukan Logos untuk menjembatani antara keduanya. Meskipun demikian, bagaimanapun
juga Philo adalah seorang Yahudi, yang sekuat tenaga ingin memahami Logos dalam iman
Yahudinya, meskipun untuk usahanya itu ia tidak selalu berhasil.
Di bawah ini petikan beberapa tulisannya mengenaai Logos, yang dilatarbelakangi oleh
pemahaman teologisnya sebagai seorang yahudi, dan sudah barang tentu dalam “bahasa
keagamaan Yahudi”. Misalnya, Philo berbicara mengenai Logos sebagai Imam Besar
Surgawi, bahkan sebagai Anak Sulung-Nya: Sebab, sebagaimana telah nyata, ada dua Bait Allah. Satu diantaranya adalah alam semesta ini., yang di dalamnya juga ada imam besar, yaitu Logos Ilahi, Yang Sulung, sedangkan lainnya adalah jiwa rasional, dan yang menjadi imamnya adalah insan sejati ( Opicio Mundi, I: 215). Jemaah kudus ini dituntunnya sesuai dengan kebenaran dan hukum, memperhadapkan dengan Logos sejati, yaitu Anak Sulung yang akan memegang pemerintahan sebagai seorang raja muda dari seorang maharajá, sebab seperti
dikatakan dalam ayat tertentu: Lihatlah, AKU ADA telah mengutus malaikat-Ku di
hadapanmu untuk melindungimu pada jalan itu (Quod Deus Immutabilis Sit, 51). Dari dua kutipan di atas jelas bahwa Philo menyamakan Logos dengan Anak Sulung Allah,
tetapi bukan seperti pemahaman Perjanjian Baru, melainkan sebagai Malaikat Allah. Dalam
pemikiran Yahudi, setinggi apapun kedudukan Malaikat mereka adalah ciptaan belaka,
padahal dalam pemikiran Yunani Logos adalah Hukum abadi yang bersifat Ilahi, perantara
antara Allah dan Manusia. Nah, karena Logos haruslah Ilahi tetapi Philo menyamakannya
dengan Malaikat Tuhan, konsekuensinya Philo gagal mempertahankan monoteisme Yahudi.
Ini terbukti dari pemikiran Philo bahwa Logos adalah “Theos deuteros” (Allah kedua),
sebagaimana dikatakan dalam tulisannya yang lain: Sebab tidak ada sesuatu yang dapat binasa, yang dibuat menurut Rupa Dia yang Maha Tinggi dan Bapa alam semesta, tetapi hanya dari Allah kedua (theos deuteros) yang adalah Logos-Nya sendiri (Questiones et Salutiones in Genesis II, 62).
Walaupun Allah sesungguhnya esa, tetapi kekuasaan-Nya yang tertinggi dan utama
adalah dua, Kebaikan dan Kedaulatan-Nya. Diantara keduanya ada yang ketiga yang
menyatukan keduanya, yaitu Logos, sebab melalui Logoslah Allah adalah pemimpin
dan serentak pula yang mahabaik. Dari kekuasaan ini. Kedaulatan-Nya dan
kebaikan-Nya, kerubium adalah simbol-simbol-Nya, seperti pedang yang menyala
adalah simbol dari nalar cerdas (Cerubim, 27-28).
YUDAISME :
TARIK MENARIK ANTARA PEMIKIRAN SEMITIK DENGAN HELLENISME
Yudaisme, yang mengacu kepada agama Yahudi yang direfleksikan dari ajaran-ajaran Musa
dalam Kitab Taurat, mulai menemukan bentuknya sejak reformasi Yosia yang mencapai
puncaknya tahun 612 SM. Sejak pembuangan ke Babel dan jauhnya mereka dari Beit
hammiqdas (Bait Suci) Yerusalem, menyebabkan pusat ibadah tidak lagi terletak pada
korban-korban di Yerusalem, melainkan si sinagoge-sinagoge. Upacara korban bergeser
pada pendalaman ajaran Taurat, dan sejak itu peranan Taurat semakin menonjol. Pada tahun
538 SM kebanyakan orang Yahudi di pembuangan menolak kembali ke Tanah Suci, telah
mengharuskan pembaruan hidup religius agar mereka tetap mmpertahankan identitas
keyahudian mereka.
Hidup keagamaan tanpa Bait Allah dan tanpa korban di Yerusalem terpaksa dikembangkan,
tetepi ditemukan rujukannya dari Taurat sendiri, sebab ketentuan ibadah korban harus ke
Yerusalem belum dijumpai pada zaman Musa, dan baru dilembagakan pada masa Salomo.
Dalam rangka penempatan kembali Taurat sebagai pusat keagamaan Yahudi itu, Ezra
disebut Bapa Yudaisme, sebab sekembali dari Babel ia tidak memperkenalkan hukum yang
baru, melainkan sekedar menemukan cara baru untuk memberlakukan hukum yang lama.
Akibat reformasi Ezra ini – yang disatu pihak dapat dianggap menghalau pengaruh
Hellenisme dalam tubuh Yudaisme – dirasakan mulai meruncing setelah imam-imam kaya di
Yerusalem menentangnya pada zaman Antiokhus Ephifanes (175-163SM). Mayoritas
masyarakat umum (‘am ha arets) berusaha menyikirkaan hal-hal lain dalam kehidupan
keyahudian mereka, kecuali yang jelas-jelas ada dalam Taurat. Pada masa diaspora tersebut,
hellenisasi dalam pola pikir Yahudi tampak dari berkembangnya tafsiran Taurat secara
alegoris. Sebelum itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan orang-orang Yahudi diaspora di
Alexandria, Perjanjian Lama sudah diterjemahkan dalam bahasa Yunani, dimana Davar (Firman) Yahwe diterjemahkan menjadi Logos. Seperti akan kita lihat dalam pembahasan di
bawah, bahwa sekalipun Perjanjian Lama menggunakan kata Logos, tetapi sama sekali tidak
memindahkan pemikiran filsafatnya.
Dalam menghadapi arus besar hellenisasi para imam di Yerusalem dan kemerosotan moral
imam-imam Hasmonean, khususnya Alexander Yanneus, kaum Farisi mencoba sekuat tenaga
untuk mempertahankan tradisi-tradisi Yahudi dan mengembangkan ibadah di sinagoge-sinagoge.
Kaum Eseni, tidak hanya memertahankan tradisi-tradisi mereka, tetapi malahan
menarik diri dalam masyarakat ramai, membelakangi Bait Allah, dan mengasingkan diri
mereka ke Wadi Qumran.
Penemuan naskah-naskah Laut Mati membuktikan adanya pandangan Yahudi yang berbeda
dengan Yudaisme belakangan, yang mengembangkan semakin jauh, dan yang salah satu
merupakan reaksi dari pesatnya perkembangan Kekristenan. Yudaisme belakangan ini, mulai
memang sudah mengambil jarak tegas dengan Kekristenan yang mengklaim sebagai
“penggenapan nubuat Taurat dan Nabi-nabi”, khususnya dengan kedatangan Yesus sebagai
Sang Mesiah, khususnya sejak mereka menyelenggarakan konsili mereka di Yamnia (dekat
Tel Aviv modern) kira-kira tahun 85 M. Dalam konsili ini umat Kristen (Ibrani: Notsrim)
telah mereka masukkan sebagai salah satu sekte sesat (ha-minim), dan kutukan itu
ditambahkan dalam “Delapan Belas Berkat” (Semoneh Esreh). (Jacob Jocs, 1979:60-63)
Salah satu konsep yang mereka kembangkan adalah hilangnya konsep dosa asal, sebagai
reaksi dari doktrin penebusan melalui Sang Mesiah. Dalam pandangan Yudaisme belakangan
ini, memang benar manusia dilahirkan dalam lingkungan dan kondisi kedosaan (yetser ha
ra’), tetapi hal itu diimbangan dengan keinginan batin yang baik (yetser ha tov) yang sama
bobotnya. Konsep Mesiah Ilahi pun akhirnya hilang dari Yudaisme belakangan, dan sebagai
gantinya Ia hanya dipandang sebagai pembebas dari kekuasaan asing, dan pelaksana Taurat
yang benar. Sebaliknya, naskah-naskah Laut Mati mengenal konsep Mesias Ilahi, yang
bahkan diakui kelahiran Ilahi-Nya dari Allah: ‘Im Yolid El et ha Mashiah (Ketika Allah
melahirkan Sang Mesiah). (Martinez, Florentino Garefa – Tigchelaar, Eibert J.C. (ed.),
1997:494-495).
FIRMAN ALLAH (DAVAR) DALAM PERJANJIAN LAMA
Istilah “Davar Elohim” (Firman Allah) dan “Davar Yahwe” (Firman TUHAN) menduduki
tempat yang penting dalam Perjanjian Lama. Ungkapan itu muncul lebih dari 241 kali,
dikaitkan dengan penciptaan, penyataan diri Allah, dan pembebasan umat-Nya. Dengan
Firman TUHAN langit telah dijadikan (Maz. 33:6), disampaikan-Nya Firman-Nya dan
disembuhkan-Nya mereka (Mam. 107:20), bahkan dalam Yes. 55:11 Firman itu diutus Allah
untuk melaksanakan kehendak-Nya: “Demikianlah Firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku, ia
tidak akan kembali dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan
akan berhasil dalam hal yang Kusuruhkan kepada-Nya”. Perlu dicatat pula, sekalipun Davar
Yahwe (Firman TUHAN) itu dalam LXX diterjemahkan dengan Logos, namun maknanya
sangat berbeda dengan Philo dan pandangan filsafat Yunani pada umumnya.
Logos dalam LXX adalah sama persis dengan Davar, maknanya Firman kreatif Allah yang
menciptakan (bara) secara “Creatio ex Nihilo” (Penciptaan dari tidak ada). Kej. 1:1-3
memuat kisah penciptaan yang dilakukan oleh Allah (Elohim), bersama-sama dengan Roh
Allah (Ruah Elohim) dan Firman ALlah (Omer Elohim). Secara linguistik, istilah omer seakar
dengan kata Aramaik Memra, maknanya sepadan dengan Davar. Kej. 1:3 dalam teks aslinya
berbunyi: Wayomer Elohim, Erhi or wa yehi or (Berfirmanlah Allah: “jadilah Terang, maka
terang itu jadi”). Secara harfiah, yehi sebenarnya berarti “Hendaklah ada”, karena yehi
adalah bentuk perintah dari kata Ibrani hayah (ada). Dengan demikian, dalam alam pikiran
Ibrani yang monoteistik, penciptaan dilakukan oleh Firman Allah dari tidak ada menjadi ada.
Dalam bahasa Ibrani jelas dibedakan antara bara (menciptakan) “mengadakan dari tidak ada
menjadi ada”, dan asah (membuat, menjadikan) dari bahan yang sudah ada. Namun dalam
terjemahan LXX, karena bahasa Yunani memang dilatarbelakangi oleh alam pikiran yang
panteistik, perbedaan antara keduanya terkadang tidak selalu tegas. Misalnya: Amsal 8:22
yang sering dijadikan argumentasi bidat Arius bahwa Firman Allah (Putra Allah) itu
mempunyai permulaan dan sebagai ciptaan belaka, diuntungkan oleh terjemahan LXX.
Dalam teks asli yang diterjemahkan “menciptakan” adalah qanah (yang seharusnya berarti
“memiliki”), dan bukan “menciptakan aku”. Dalam bahasa Ibrani: Yahwe qenani reshit
derekho (TUHAN memiliki aku sejak permulaan pekerjaan-Nya), sebanding dengan Ams.
4:5 dimana kata yang sama juga diterjemahkan “memperoleh”, “memiliki”. Demikianlah
Hikmat yang dipersonikasikan dalam literatur Hikmat inter-testamental, Sophia (Hikmat)
seolah-olah ciptaan, karena dalam terjemahan Yunani memang tidak setegas kata bara
(menciptakan) yang dilatarbelakangi penciptaan Creatio ex Nihilo, bukan paham emanasi
dalam filsafat Yunani. Emanasi memandang bahwa alam semesta yang plural ini mengalir
dari Dzat Ilahi yang tunggal, sehingga antara keduanya sezat adanya.
MEMRA DALAM TARGUM
Dalam Targum sejauh Allah yang transeden menyatakan diri supaya dikenal umat-Nya, maka
kata TUHAN selalu diterjemahkan Memra (Firman-Nya). Misalnya: “Pada waktu malam
datanglah Allah dalam mimpi kepada Laban ...” (Kej. 31:24). Bagaimana Allah menemui
Laban? Dalam Targum disebutkan bahwa Memra-Nya yang menemui Laban, seperti dapat
kita baca dalam Targum Onqelos: Wa ata Memra min qedem Alaha lwat Laban...” (Dan
datanglah Memra/Sang Firman yang bersama-sama Yahwe/TUHAN itu menemui Laban).
Firman Allah yang puluhan kali diidentikkan dengan TUHAN itu, disebutKan dalam Kej.
31 :24 Targum Onqelos: “bersama-sama dengan TUHAN” (Aramaik : Memra min qedem
Alaha). (Shcermann dan Zlotowitz, 1993).
Jadi, tidak usah terlau jauh mencari latarbelakang prolog Injil Yohanes dari Philo atau filsafat
Hellenisme umumnya, karena memang teologi Yohanes berakar kuat pada Hikmat dalam
Amsal, dan alam pemikiran Perjanjian Lama pada umumya, secara khusus lagi terjemahan
Targum Aramaik. Dengan demikian jelas latarbelakang Rasul Yohanes menulis dalam Yoh.
1 :1, bahwa “Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”. Memra
yang selalu diidentikan Allah, juga dibedakan dengan Allah, karena disebut :Memra yang
bersama-sama dengan Allah (Memra min qedem Alaha). Karena itu, pandangan para teolog
abad lalu yang mencari asal-usul ide Logos dalam Injil Yohanes dari filsafat Yunani, sama
sekali tidak beralasan. Kalau pun Logos dipakai, itu hanya istilah dan tidak memindahkan
pemikiran falsafatinya, karena LXX (Septuaginta) sudah terlebih dahulu menerjemahkan
dengan kata Logos. Hal sebanding dengan terjemahan Logos menjadi Tao dalam Alkitab
bahasa Tionghoa, tanpa sama sekali menaklukkannya pada pemikiran Tao Tek Ching ala
filosof Lao Tse.
LOGOS DALAM YOH 1 :1 DAN DALAM PEMIKIRAN PHILO
Untuk memahami Logos dalam pemikiran Philo dan perbedaannya dengan Injil Yohanes,
pertama harus melihat pemikiran Philo mengenai Allah (Theos). Kenyataannya tidak selalu
mudah mendamaikan antara transendensi Allah dalam teologi Perjanjian Laama dengan
panteisme Yunani. Demi mempertahankan keesaan Allah, yang tentu saja dipahaminya dalam
upaya untuk mendamaikannya dengan pemikiran filsafat Yunani, bagi Philo Allah memang
Esa. Meskipun demikian, di belakang Allah yang tidak tampak dan Esa itu ada kekuasaan-kekuasaan-Nya (dunameis).
Musa, dalam pemikiran Philo, dikisahkan sebagai yang mengatakan : ‘’Dengan kemuliaan-Mu, aku mengerti dunameis (kekuasaan-kekuasaan) yang selalu siap menjagaiku’’ (Hukum Khusus I,45). Apa yang dilihat Musa dari Allah adalah manifestasi yang kelihatan dalam dunia makhluk. Dan karena Logos adalah yang paling mulai dari kekuatan-kekuatan (dunameis) itu, maka Logos itu adalah ‘’Allah kedua’’ (Theos deuteros), Allah yang kelihatan, dan Sang Kemuliaan Allah.
‘’Theos deuteros ‘’ bukan Allah sejati, tetapi Ia adalah hanya bersifat Ilahi. Karena itu
berbeda dengan Yoh. 1 :1 yang menegaskan bahwa Allah sendirilah Logos itu (kai theos en
ho Logos), maka Philo menyebutnya ‘’Logos Ilahi’’ (theios Logos), dan bukan Theos
sendiri. Selanjutnya, karena pemikiran Logos itu sendiri diambil oleh Philo dari dunia filsafat
yang memandang sebagai ‘’an intermediary being’’ (makhluk perantara) antara Allah dan
ciptaan-Nya, maka muncullah spekulasi-spekulasi bahwa Logos adalah ‘’Malaikat utama’’
(the Eldest Angel). Ide inilah yang diteruskan oleh Origenes, dan dalam pengertian yang lebih jauh menyimpang oleh Arius, serta kaum Unitarian dan Saksi-saksi Yehuwa
zaman sekarang. Dengan demikian, Logos dalam pemikiran Philo dapat dilacak dari
beberapa pemikiran yang hendak didamaikannya. Ide Logos Ilahi sebagai ‘’archetypel idea’’
berasal dari filsafat Plato, sedangkan dari filsafat Stoa, Philo meminjam ide mengenai ‘’world
reason’’ (jiwa semesta). Dua latarbelakang filosofi mengenai Logos ini kemudian diberikan
busana Yahudi seperti ‘’Anak Sulung’’, ‘’Imam Besar’’, ‘’Malaikat Utama’’, dan sebagainya.
Berbeda dengan Yohanes, Philo tidak pernah mengenai Logos sebagai ‘’hypostasis’’ yang
pre-eksisten bersama-sama Allah dan Allah itu sendiri. Bagi Yohanes yang mengacu kepada
Davar dalam Perjanjian Lama Ibrani, dengan Logos-Nya Allah telah menciptakan dari tidak
ada menjadi ada : ‘’Segala sesuatu djadikan oleh Dia, dan tanpa Dia tidak ada sesuatupun
yang jadi dari segala yang telah dijadikan’’ (Yoh. 1 :3). Sedangkan mengacu kepada Memra
dalam Targum Aramaik, ‘’Kai ho Logos en pros ton theon’’ (Firman itu bersama-sama Allah)
dan sekaligus ‘’kai theos en ho Logos’’ (Allahlah Firman itu). Karena itu, seperti ditekankan
Alfred Edersheim (1995 :33), Logos dalam pemikiran Philo yang ‘’impersonal, an intermediary being’’ jelas-jelas berbeda dengan Memra dalam Targum yang melatarbelakangi Injil Yohanes.
Selanjutnya perlu dicatat pula, bahwa pengaruh Hellenisme dalam teologi Kristen hanya
bersifat sampingan saja. Dengan membandingkan bukti-bukti dari temuan The Dead Sea
Scrolls belakangan justru membuktikan, bahwa Yudaisme zaman belakangan justru lebih
tebal dan lebih banyak menyerap Hellenisme. Hal itu terbukti dari tulisan-tulisan para rabbi,
misalnya : Metatron (Malaikat yang menampakkan Wajah Allah) dalam Talmud dan
Kabbalah (mistik Yahudi), jelas-jelas menggaungkan kembali ide ‘’Theios Logos’’ (Logos
Ilahi) sebagai Pemuka Ciptaan, begitu pula dengan ide Plato mengenai Logos sebagai
‘’Archetypal Idea’’ muncul dalam ‘’Adam Qadmon’’ (Manusia utama) dalam mistik Yahudi
tersebut (Edersheim, 1995 :32).
Dalam buku apokrif Yahudi, III Henokh 45,1 dikisahkan bahwa Rabbi Yisma’el telah
diangkat ke surga melalui lapisan-lapisan langit oleh Malaikat agung Metatron, yang
dahulunya adalah Henokh, Sang Pelihat. Rabbi Yisma’el lalu bersaksi : ‘’Marilah aku akan
menunjukkan tabir dari Dia yang Maha hadir yang terbentang di hadapan Yang maha Kudus,
Ha Qadosh Barukh Hu, yang diatasnya tercatat semua generasi dunia ini beserta semua
perbuatannya’’. Dalam kutipan di atas, Metatron malah diidentikkan dengan seorang ciptaan
yang menyatakan siapakah Allah Yang Maha Kudus. Sekali lagi, pengaruh Hellenisme
mengenai Logos yang ‘’bukan Allah’’, tetapi ciptaan setengah ilahi, justru lebih mempengaruhi
Yudaisme belakangan, ketimbang Kekristenan yang ternyata lebih teguh
mempertahankan monoteisme Yahudi kuno.
Dan yang lebih jelas perbedaannya, baik aliran filsafat Yunani manapun, maupun Philo tidak
akan membayangkan bahwa Logos itu menjadi manusia melalui Inkarnasi-Nya.
Sebagaimana terungkap dalam pengalaman rohani St. Agustinus, bahwa semua telah
didengarnya dari Filsafat Yunani kecuali satu, bahwa ‘’Firman itu telah menjadi Manusia’’
(Yoh. 1 :14 kai Ho Logos sarks egeneto). Dengan demikian, tuduhan beberapa pemikir
Muslim, seperti misalnya yang dikatakan Prof. DR. K.H. Hasbullah Bakry, bahwa konsep
Logos dalam Injil Yohanes merupakan jiplakan dari filsafat pagan Yunani, sama sekali tidak
beralasan. ***
DAFTAR PUSTAKA
Baker, Margaret. The Gate of Heaven : The History and Symbolism of the Temple in
Jerusalem (London : SPCK The Holy Trinity Church, 1991).
Bertens. K. Sejarah Filsafat Yunani. Edisi Revisi (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1999).
‘’Judaism’’ dalam J.D. Douglas (ed.), The New Bible Dictionary (Leicester, England :
Universities and Colleges Felloship, 1982).
Ederheim, Alfred. The Life and Times of Jesus The Messiah (Pebody, Massacushet :
Hendrickson Publisher, 1995).
Martinez, Florentino Garefa – Tigchelaar, Eibert J.C. (ed.), The Dead Sea Scrolls : Hebrew-
English Study Edition (Leiden-New York-Kohn : E.J. Brill, 1997).
McNamara, Martin. Targum Neofiti 1 : Genesis. Tranlated, with Apparatusand Notes
(Edinburg ; T & T Clark Ltd., 1992).
Santala, Risto. The Massiah in the Old Testament in the Light of Rabbinical Writings
(Jerusalem : Karen Ahvah Meshihit, 1992).
__________. The Messiah in the New Testament in the Light of Rabbinical Writings
(Jerusalem : Karen Ahvah Meshihit, 1992).
Schermann, Rabbi Nossom – Zlotowitz (ed.), Humash Humashi Torah ‘im Targum Onqelos,
Farash Haftarot we Humash Megilot (New York : Mesorah Publishing, Ltd., 1993).
Jocs, Jacob. The Jewish People and Jesus Christ : The Relationship between Church and
Synagoge (Michigan : Baker Book House, 1979).
#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar