Oleh: Daniel Susanto S.Th
Pagi itu, ketika hampir sebulan saya
menjadi Staff Pastoral, seorang rekan yang cukup senior mengajak saya untuk
ikut di dalam sebuah pelayanan pemakaman.
Sebenarnya saya ingin menolaknya. Tetapi, “kapan lagi?” Pikir saya.
“Kapan saya akan belajar?”
Kemudian ikutlah saya dengan rekan tersebut.
Dalam perjalanan, untuk mengusir
kesunyian mulailah kami bercerita tentang bagaimana cara atau liturgi dari
sebuah pemakaman. Banyak hal yang kami
bicarakan seputar tentang ibadah pemakaman.
Termasuk juga pengalaman yang oleh rekan-rekan senior pernah alami dulu,
sewaktu ingin memakamkan seseorang.
Ceritanya begini; ketika itu ada seorang
yang menelpon ke kantor gereja memberitahukan bahwa anggota keluarganya ada
yang meninggal dunia, lalu dari gereja pun mengutus beberapa orang dalam tim
untuk tugas dalam ibadah penghiburan dan pemakaman. Beberapa orang pun ditugaskan. Ibadah penghiburan telah dilaksanakan dan
dilanjutkan penutupan peti. Saatnya tiba
untuk memberangkatkan jenazah ke pemakaman.
Iring-iringan mobil jenazah dan para pengantar akhirnya tiba di lokasi
pemakaman. Peti jenazah memang belum
diturunkan dari mobil, namun keluarga yang berduka sudah siap mengambil
posisinya di sekeliling liang kubur. Mobil Sang Pengkhotbah belum tiba
juga. Saya kurang ingat apa yang
menyebabkan rekan senior itu terlambat.
Barangkali karena kemacetan kota Jakarta, sehingga ia terpisah dari iring-iringan
rombongan keluarga yang berduka.
Keluarga dan teman-teman yang juga turut mengantar jenazah Lebih dulu
tiba di lokasi pemakaman, si Pengkhotbah belum juga datang.
Tidak lama kemudian, ada sebuah mobil
dengan agak kencang mendekati sebuah kerumunan masa. Ketika dilihat warna dan merk mobil yang
melaju kencang itu, seseorang berkata ”Nah….akhirnya datang juga…!” Benar saja, orang itu adalah si pengkhotbah
yang ditunggu-tunggu. Karena merasa tidak enak, si Pengkhotbah langsung berlari
ke tengah kerumunan orang banyak yang tengah menyanyikan lagu-lagu untuk
mengiring melepaskan jenasah dan menghibur keluarga yang berduka. Dia tidak berpikir panjang lagi, sambil
membuka Alkitabnya untuk mencari ayat-ayat yang akan dikhotbahkan, secepat itu pula ia menerobos kerumunan masa
tersebut.
Alangkah terkejutnya Pengkhotbah
itu. Ketika dilihatnya peti jenazah akan
diturunkan ke liang kubur. Para petugas pemakaman juga sudah bersiap-siap pada
posisinya. Dengan spontan ia pun
berbicara kepada orang-orang yang ada di sana.
“Hei... tunggu dulu, kenapa
kalian tidak tunggu saya!” Semua mata
yang berlinangan air mata pun dengan tajam dan penuh tanda tanya menatapnya. Si Pengkhotbah semakin heran, pikirnya;
“pasti ada yang tidak beres....”
Kemudian seorang Pendeta pun mendatangi si Pengkhotbah dan bertanya
dengan suara berat dan terdengar bijaksana; “Ada apa pak? Mungkin rombongan bapak yang di sebelah
sana....” Dengan wajah yang memerah, si
Pengkhotbah langsung menjawab Pendeta tersebut; “Maaf salah lubang
kubur....”
Dari cerita tersebut, satu hal yang saya
dapat pelajari adalah ketergesaan
menyebabkan kita kehilangan fokus. Tidak
dapat kita sangkal, bahwa waktu dalam kehidupan ini, begitu cepat
bergulir. Apalagi bagi kita yang tinggal
di daerah perkotaan. Kita selalu
berlomba dengan waktu. Kadang kita
bertanya, “Mengapa waktu begitu singkat?”
“Mengapa waktu tidak dapat dikompromikan, seperti keputusan tentang
eksekusi seorang teroris, yang dapat dikompromikan bahkan ditunda dan orang
yang tidak bersalah pun dipercepat untuk
menghadapi eksekusi?”
Pertanyaan yang lain lagi adalah, “bagaimanakah caranya
sekalipun kita di dalam ketergesaan, namun tetap dapat fokus?” Tentunya bukan dengan banyak meminum minuman
mengandung larutan isotonik. Yah...
memang ada juga manfaatnya dengan meminum minuman tersebut. Tetapi, sebenarnya kita memerlukan
kedisplinan dalam Meditasi / perenungan.
Sebab seperti yang Richard J. Foster katakan, dalam bukunya “Tertib
rohani”* bahwa musuh orang-orang
zaman sekarang salah satunya adalah ketergesaan. Untuk itu, kita perlu melatih diri dalam
meditasi atau perenungan.
Sebagai orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta,
kita sangat kurang dalam merenung. Oleh
karena itu, latihlah diri kita untuk merenungkan kehidupan ini. Mengevaluasi hidup dan pribadi. Sehingga sekalipun dalam waktu yang mendesak,
dalam ketergesaan, kita tetap dapat memfokuskan diri dalam segala hal. Apa lagi merenungkan Firman Allah, itu akan
menuntun hidup kita kepada kedamaian batin dan bahkan menuntun kita menjadi
berhasil.