Hi, guest ! welcome to Livebebetter!. | About Us | Contact | Register | Sign In

Kamis, 23 Mei 2013

Maaf Salah Lubang Kubur

Oleh: Daniel Susanto S.Th
        Pagi itu, ketika hampir sebulan saya menjadi Staff Pastoral, seorang rekan yang cukup senior mengajak saya untuk ikut di dalam sebuah pelayanan pemakaman.  Sebenarnya saya ingin menolaknya. Tetapi, “kapan lagi?”   Pikir saya.  “Kapan saya akan belajar?”  Kemudian ikutlah saya dengan rekan tersebut.

        Dalam perjalanan, untuk mengusir kesunyian mulailah kami bercerita tentang bagaimana cara atau liturgi dari sebuah pemakaman.  Banyak hal yang kami bicarakan seputar tentang ibadah pemakaman.  Termasuk juga pengalaman yang oleh rekan-rekan senior pernah alami dulu, sewaktu ingin memakamkan seseorang.

        Ceritanya begini; ketika itu ada seorang yang menelpon ke kantor gereja memberitahukan bahwa anggota keluarganya ada yang meninggal dunia, lalu dari gereja pun mengutus beberapa orang dalam tim untuk tugas dalam ibadah penghiburan dan pemakaman.  Beberapa orang pun ditugaskan.  Ibadah penghiburan telah dilaksanakan dan dilanjutkan penutupan peti.  Saatnya tiba untuk memberangkatkan jenazah ke pemakaman.  Iring-iringan mobil jenazah dan para pengantar akhirnya tiba di lokasi pemakaman.  Peti jenazah memang belum diturunkan dari mobil, namun keluarga yang berduka sudah siap mengambil posisinya di sekeliling liang kubur. Mobil Sang Pengkhotbah belum tiba juga.    Saya kurang ingat apa yang menyebabkan rekan senior itu terlambat.  Barangkali karena kemacetan kota Jakarta,  sehingga ia terpisah dari iring-iringan rombongan keluarga yang berduka.  Keluarga dan teman-teman yang juga turut mengantar jenazah Lebih dulu tiba di lokasi pemakaman, si Pengkhotbah belum juga datang.

        Tidak lama kemudian, ada sebuah mobil dengan agak kencang mendekati sebuah kerumunan masa.  Ketika dilihat warna dan merk mobil yang melaju kencang itu, seseorang berkata ”Nah….akhirnya datang juga…!”  Benar saja, orang itu adalah si pengkhotbah yang ditunggu-tunggu. Karena merasa tidak enak, si Pengkhotbah langsung berlari ke tengah kerumunan orang banyak yang tengah menyanyikan lagu-lagu untuk mengiring melepaskan jenasah dan menghibur keluarga yang berduka.  Dia tidak berpikir panjang lagi, sambil membuka Alkitabnya untuk mencari ayat-ayat yang akan dikhotbahkan,  secepat itu pula ia menerobos kerumunan masa tersebut.

        Alangkah terkejutnya Pengkhotbah itu.  Ketika dilihatnya peti jenazah akan diturunkan ke liang kubur.  Para petugas pemakaman juga sudah bersiap-siap pada posisinya.  Dengan spontan ia pun berbicara kepada orang-orang yang ada di sana.  “Hei...  tunggu dulu, kenapa kalian tidak tunggu saya!”  Semua mata yang berlinangan air mata pun dengan tajam dan penuh tanda tanya menatapnya.  Si Pengkhotbah semakin heran, pikirnya; “pasti ada yang tidak beres....”  Kemudian seorang Pendeta pun mendatangi si Pengkhotbah dan bertanya dengan suara berat dan terdengar bijaksana; “Ada apa pak?  Mungkin rombongan bapak yang di sebelah sana....”  Dengan wajah yang memerah, si Pengkhotbah langsung menjawab Pendeta tersebut; “Maaf salah lubang kubur....” 

        Dari cerita tersebut, satu hal yang saya dapat pelajari adalah  ketergesaan menyebabkan kita kehilangan fokus.  Tidak dapat kita sangkal, bahwa waktu dalam kehidupan ini, begitu cepat bergulir.  Apalagi bagi kita yang tinggal di daerah perkotaan.  Kita selalu berlomba dengan waktu.  Kadang kita bertanya, “Mengapa waktu begitu singkat?”  “Mengapa waktu tidak dapat dikompromikan, seperti keputusan tentang eksekusi seorang teroris, yang dapat dikompromikan bahkan ditunda dan orang yang tidak bersalah pun dipercepat  untuk menghadapi eksekusi?”

Pertanyaan yang lain lagi adalah, “bagaimanakah caranya sekalipun kita di dalam ketergesaan, namun tetap dapat fokus?”  Tentunya bukan dengan banyak meminum minuman mengandung larutan isotonik.  Yah... memang ada juga manfaatnya dengan meminum minuman tersebut.  Tetapi, sebenarnya kita memerlukan kedisplinan dalam Meditasi / perenungan.  Sebab seperti yang Richard J. Foster katakan, dalam bukunya “Tertib rohani* bahwa musuh orang-orang zaman sekarang salah satunya adalah ketergesaan.  Untuk itu, kita perlu melatih diri dalam meditasi atau perenungan.

Sebagai orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, kita sangat kurang dalam merenung.  Oleh karena itu, latihlah diri kita untuk merenungkan kehidupan ini.  Mengevaluasi hidup dan pribadi.  Sehingga sekalipun dalam waktu yang mendesak, dalam ketergesaan, kita tetap dapat memfokuskan diri dalam segala hal.  Apa lagi merenungkan Firman Allah, itu akan menuntun hidup kita kepada kedamaian batin dan bahkan menuntun kita menjadi berhasil. 


* Richard J. Foster, Tertib Rohani. Penerjemah: Anonimus (Malang: Gandum Mas, 2000), 27.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Agama KristenM mati bawa jas dan perhiasan dunia,beda sama orang Islam yang kaya dan miskin sama aja tetap selembar kain kafan yang putih

sidik gumelar mengatakan...

Betul