Oleh: Daniel Susanto S.Th
Senin, 21 April 2008 yang lalu, waktu menunjukkan pukul 12.05 bbwi. Hari itu saya dan istri berada di gereja cabang kami, di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Tujuan saya ke tempat itu adalah untuk memfoto gedung gereja tersebut. Ketika saya hendak membidikkan kamera, tiba-tiba saja saya dikejutkan oleh seseorang yang sedang berjalan ke arah saya. Orang itu berbadan besar dan berkulit hitam, pikir saya mungkin dari Papua, ternyata dia adalah seorang yang berasal dari Haiti.
Dengan menggunakan bahasa Inggris dan aksen yang khas, dia menyapa saya. Saya memang belum begitu mahir dalam berdialog menggunakan bahasa Inggris. Tetapi saya cukup mengerti apa yang dia tanyakan kepada saya.
Rupanya orang itu tersesat, entah disesatkan oleh Pengemudi Taxi yang curang, atau karena sebab lain. Saya tidak menanyakan secara detail kepadanya (sekali lagi karena saya tidak mahir dalam berkomunikasi bahasa Inggris). Kasihan sekali orang itu, padahal sebenarnya dia ingin ke Hotel Indonesia, karena tersesat diapun akhirnya berjumpa dengan saya, di wilayah Jakarta Barat. Dia mengira saya seorang Tourist juga yang sedang mengabadikan beberapa lokasi di Indonesia dengan kamera saya.
Teman saya hanya memperhatikan saya lewat kaca spion mobilnya ketika saya sedang bercakap-cakap. Padahal, saya berharap dia turun dari mobilnya dan membantu saya dalam percakapan tersebut (maklum dia lebih mahir dalam bahasa Inggris).
Kira-kira hampir setengah jam kami berbincang-bincang dan setelah mendapat penjelasan dari saya, dia pun kembali meneruskan tujuan menuju Hotel Indonesia. Saya pun menuju ke mobil, karena telah selesai mengambil foto gedung gereja tersebut. Di dalam mobil, teman saya bertanya alasan mengapa ada senyum dalam wajah saya setelah bercakap-cakap dengan orang Haiti tadi. Saya menjawab bahwa orang itu mengira saya adalah seorang Tourist, sama seperti dia. Kemudian tibalah waktunya saya harus pulang dan teman saya itu berbaik hati untuk mengantar kami pulang.
Dalam perjalanan pulang saya teringat dengan percakapan kami tadi. Dalam hati, saya berkata “saya tourist...?” Saya renungkan dengan dalam kata-kata tersebut, ada benarnya juga rasanya. Bukankah memang kita ini bagaikan tourist yang sedang berkunjung ke negeri lain? Bukankah Tanah Air kita yang sejati adalah Tanah Air Surgawi...? Dalam bahasanya Rasul Petrus dikatakan kita perantau dan pendatang.
“.... Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa”
(I Petrus 2:11)
Kalau dalam Falsafah Jawa dikatakan, bahwa manusia di bumi ini hanya sekedar singgah untuk minum teh atau kopi.* [ Tanpo Aran , Sangkan Paraning Dumadi. ( Yogyakarta, tth) ]
Tua atau muda, besar atau kecil, baru lahir atau sudah lanjut, kita adalah perantau. Kapan kita akan kembali ke negeri asal kita, tidak ada yang tahu kapan pastinya. Namun yang pasti adalah kita diminta oleh Tuhan untuk berjaga-jaga dalam setiap aspek kehidupan kita.
Apa yang akan terjadi dengan kehidupanmu besok, kalian sendiri pun tidak mengetahuinya! Kalian hanya seperti asap yang sebentar saja kelihatan, kemudian lenyap.
( Yakobus 4:14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar