Berbakat tapi Tersisih, Apa Boleh Buat?? Benar tapi dipersalahkan, Mau Buat Apa??Beli tapi Tidak Perlu, Buat Apa??
Oleh: Daniel Susanto S.Th
Psikologi manusia seperti yang dikatakan oleh Abraham Maslow* mengatakan bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dasar. Salah satunya adalah kebutuhan untuk dikasihi dan mengashi. Namun bagaimana seseorang dapat dikasihi jika tidak ada yang mengenalnya? Barangkali ada benarnya juga pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang.” Sehingga kita dapat mengatakan; Tidak ada seorangpun yang tidak ingin dikenal, apalagi dikenal oleh banyak orang. Semua orang ingin menjadi beken!
Oleh karena itu, ketika di Indonesia masuk sebuah program televisi yang bernama “Indonesian Idol.” Banyak orang yang antri untuk dapat masuk dalam audisinya. Saya sempat mengikuti perjalanan para Indonesian Idol tersebut. Mulai dari Delon dan Joy, Mike dan Judika, Ichsan dan Dirly, Rini dan Wilson, Aris dan Gisel, Igo dan Citra (itulah nama-nama yang saya ingat yang masuk dalam Grand Final).
Satu hal yang menarik perhatian saya adalah ada peserta Idol yang memiliki potensi sangat baik yang menurut saya pastinya akan masuk ke dalam babak final, ternyata orang tersebut masuk ke dalam 5 besar pun tidak. Tetapi yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata dari peserta yang lain, orang itu terpilih menjadi Idol.
Apakah juri yang bersalah dalam hal ini? Kita tidak dapat mengatakannya begitu (walaupun ada satu orang juri yang selalu menilai dengan subjektif). Karena yang memilih adalah masyarakat. Mereka memilih idolanya masing-masing sekalipun mereka mungkin sangat mengetahui dengan pasti bahwa idolanya itu hanya memiliki kemampuan yang pas-pasan.
Lain halnya jika dibandingkan dengan waktu belasan tahun lalu. Barangkali di antara kita ada yang ingat dengan acara “Asia Bagus.” Sebuah program acara yang juga menyalurkan bakat orang-orang yang berpotensi menyanyi. Namun yang membedakan “Asia Bagus” dengan “Indonesian Idol” adalah “siapa yang menentukan siapa pemenangnya.” Dalam Asia Bagus pemenang ditentukan dengan sangat objektif oleh para juri. Sedangkan dalam Indonesian Idol, penonton menentukan pemenang dengan sangat subjektif.
Barangkali ini adalah dampak dari budaya “postmodern
” yang memiliki filosofi bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Tidak ada kebaikan yang abadi. Semua adalah relatif. Apa yang benar / baik bagi seseorang, belum tentu benar / baik bagi orang lain. Yang ada adalah kebenaran subjektif.
Ternyata subjektifitas itu mencakup seluruh aspek hidup manusia, baik sisi badani dan rohani. Ya…, dan bahkan sudah cukup banyak yang mempraktekkannya dalam hidup sehari-hari.
Mempraktekkan cara tersebut dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, seperti memilih idola yang sesuai dengan pandangan subjektif kita adalah suatu tindakan sangat membahayakan. Sebab tanpa kita sadari, kita telah digiring untuk percaya bahwa tidak ada suatu kebenaran yang mutlak. Segala sesuatu diukur dengan sangat subjektif; suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, kita sedang digiring ke sana.
Kita ambil contoh misalnya, dalam dunia peradilan dapat kita lihat. Pasal-pasal beserta butir-butir ayat dalam Kitab Perundang-undangan ditafsirkan seenaknya dengan maksud agar membela salah satu pihak, sekalipun dalam pandangan awam kita dapat melihat siapa yang salah dan siapa yang benar
Barangkali ini juga mengapa saat ini, tidak sedikit orang yang melakukan kebenaran malah dihukum dan orang yang jelas-jelas berbuat kejahatan, membunuh, korupsi, melakukan terorisme, melakukan tindakan anarkis, mereka bahkan hidup bebas berkeliaran. Kalaupun dikatakan telah diproses, sampai kapan proses tersebut berakhir? Ini adalah dampak filosofi postmodern di dunia peradilan.
Filosofi postmodern ternyata juga telah cukup lama merambah ke dalam dunia ekonomi atau marketing. Tidak sedikit para pengusaha yang cerdik dengan penuh semangat menggunakan dan mengaplikasikan filosofi tersebut dalam memasarkan produknya. Mereka berupaya sedemikian rupa untuk mempengaruhi perasaan subjektif calon pembelinya.
Banyak di antara kita menjadi subjektif dalam menilai suatu barang yang hendak kita beli Barangkali sering kita melihat ada seorang pembeli yang terkecoh dan akhirnya membeli sebuah produk, hanya karena melihat iklan atau Sales Promotionnya yang cantik atau ganteng. Kita tidak lagi menilainya dari segi manfaat dan kebutuhan. Melainkan karena subjektifitas yang ada dalam perasaan kita.
Kita baru saja mengamati bersama-sama pengaruh yang dibawa oleh filosofi Postmodern di dalam dunia entertainment, peradilan dan marketing. Lalu bagaimanakah pengaruh filosofi postmodern dalam kehidupan rohani?
Dalam kehidupan rohani, filosofi postmodern tersebut juga harus diwaspadai. Karena pengaruhnya sangat berbahaya bagi pertumbuhan iman kita. Sebab jika kita menerima pandangan tersebut, maka dengan sendirinya, tanpa disadari, kita mengakui bahwa kedaulatan Allah tidaklah mutlak.
Ingatlah bahwa masih ada dan akan tetap ada yang namanya kebenaran dan kebaikan yang mutlak. Yaitu; Allah sendiri.
TUHAN itu baik dan benar; sebab itu Ia menunjukkan jalan kepada orang yang sesat. Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati. Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya.
Mazmur 25: 8-10
Dari dulu, sekarang dan yang akan datang Allah tetap setia, benar dan baik. Dia tidak berubah. Bahkan penilaiannya selalu objektif. Tidak seperti manusia yang cenderung subjektif dalam menilai.
.... "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."
I Samuel 16: 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar